Palembang, Briliannews.com — Setelah Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan agar seluruh Kejati tidak berkompromi dengan pelanggaran hukum, kini aktivis lingkungan melayangkan ancaman serius yakni melaporkan Pemerintah Provinsi Sumsel ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta aparat penegak hukum.
Para aktivis menuding Pemprov Sumsel melakukan pembiaran sistematis terhadap perusahaan tambang yang beroperasi tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Lebih parah lagi, izin operasi yang seharusnya mensyaratkan AMDAL justru diterbitkan pejabat provinsi tanpa dasar dokumen tersebut. Praktik ini dianggap sebagai bentuk melegitimasi perusakan lingkungan.
“Prakteknya banyak kita temui di lapangan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi persekongkolan. Jika benar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumsel dan gubernur memberi izin tanpa AMDAL, padahal itu syarat mutlak, maka mereka justru menjadi bagian dari perusak lingkungan,” tegas Koordinator Advokasi Perkumpulan Sumsel Bersih, Arlan, Minggu (17/8/2025).
Aktivis menilai pola “bangun dulu, izin belakangan” sudah menjadi kebiasaan buruk di Sumsel. AMDAL kerap hanya dijadikan formalitas untuk melengkapi berkas setelah proyek berjalan.
“Ini sangat berbahaya. Proyek tambang atau jalan hauling sudah terlanjur berjalan tanpa kajian dampak. Ujung-ujungnya masyarakat yang dikorbankan: lingkungan rusak, banjir, pencemaran, dan konflik lahan,” lanjut Arlan.
Menurutnya, praktik ini memberi contoh buruk bagi investor. “Kalau dibiarkan, semua perusahaan akan berpikir sama: jalankan dulu proyek, izin urus belakangan. Pemerintah provinsi bukannya jadi pengawas, malah jadi fasilitator perusakan,” ujarnya.
Salah satu contoh mencolok adalah pembangunan jalan hauling batu bara sepanjang 26,4 km oleh PT Levi Bersaudara Abadi (LBA) di Kabupaten Lahat. Proyek ini bahkan telah diresmikan Gubernur Herman Deru awal Agustus lalu, meski perusahaan diduga belum mengantongi AMDAL maupun Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Framing-nya seolah capaian besar, padahal ini pelanggaran mendasar. Bagaimana mungkin proyek jalan tambang diresmikan tanpa AMDAL? Ini preseden buruk dan bukti nyata pembiaran,” tandas Arlan.
Tak hanya itu, lahan eks tambang Putra Hulu Lematang (PHL) di Kabupaten Lahat juga menjadi sorotan. Aktivis menemukan area bekas tambang masih aktif ditinggalkan tanpa reklamasi, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, perusahaan dapat dijerat pidana karena meninggalkan eks tambang tanpa melakukan pemulihan lingkungan.
“Sudah memalsukan dokumen, meninggalkan reklamasi tanpa kejelasan, bahkan lubang tambang dibiarkan menganga. Ini jelas kejahatan lingkungan yang nyata,” tegas Rahmat Sandi, Direktur Suara Informasi Sriwijaya (SIRA).
Menurut Rahmat, Kepala Dinas LHP Sumsel beserta Kabid yang membidangi justru telah berubah fungsi: bukan lagi penjaga lingkungan, melainkan perusak.
“Kewenangan AMDAL itu sudah jelas aturannya. Kalau izin tetap dikeluarkan tanpa AMDAL, itu kongkalikong untuk kepentingan tertentu. Kami siap melaporkan hal ini ke Menteri LHK dan Aparat Penegak Hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan, legalisasi tanpa AMDAL adalah kejahatan lingkungan yang sistematis dan terstruktur. “Ini bukan sekadar maladministrasi, tapi tindak pidana lingkungan. Kami siap aksi, kami siap gugat,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menambahkan bahwa banyak perusahaan tambang di Sumsel abai terhadap reklamasi pascatambang. Lubang-lubang tambang dibiarkan terbengkalai, membahayakan warga, dan jaminan reklamasi (jamrek) tidak pernah dieksekusi.
“Negara dirugikan, rakyat jadi korban, lingkungan hancur. Kalau Kejati Sumsel tidak berani bertindak, maka KLHK harus segera mengambil alih kewenangan provinsi,” tegas Yusri.
Di sisi lain, Jaksa Agung dalam pernyataannya pekan lalu menegaskan agar seluruh jajaran kejaksaan, termasuk di Sumsel, tidak lagi berkompromi terhadap pelanggaran hukum pertambangan dan lingkungan.
Instruksi itu kini menjadi ujian besar bagi Kejati Sumsel: berani menindak perusahaan tambang nakal dan pejabat pemberi karpet merah, atau tetap membiarkan praktik “izin seremonial” yang selama ini merusak bumi Sriwijaya.
“Sekali lagi yang menjadi korban ialah masyarakat, dibawah kepentingan para prjabat dan pengusaha yang abai dengan lingkungan. Hal ini akan terus kami suarakan,” tegas Rahmat. ()